Syar’u man Qoblana

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Syar’u man Qoblana
Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah: Hukum syariat orang-orang (umat) sebelum kita.
Syar'u man qablana adalah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutusnya Nabi Muhammad yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim, syari'at Nabi Musa, syari'at Nabi Daud, syari'at Nabi Isa, dan sebagainya.
Para ahli ushul fiqh membahas persoalan syari’at sebelum Islam dalam kaitannya dengan Syari’at Islam, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum Islam menjadi hukum juga bagi Umat Islam. Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa seluruh syari’at yang diturunkan Allah sebelum Islam melalui para Rasul-Nya telah dibatalkan secara umum oleh Syari’at Islam. Mereka juga sepakat mengatakan bahwa pembatalan syari'at syari'at sebelum Islam itu tidak secara menyeluruh dan rinci, karena masih banyak hukum hukum syari'at sebelum Islam yang masih berlaku dalam syari'at Islam, seperti beriman kepada Allah, hukuman bagi orang yang melakukan zina, hukuman qishash dan hukuman bagi tindak pidana pencurian. Ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad, seperti puasa (lihat surat al-Baqarah (2): 183), hukuman qishash (lihat surat al-Ma’idah (5): 32) dan sebagainya.

B.    Dasar Hukum Syar’u man Qoblana
Pada asas syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah :
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (Asy-Syura (42): 13)
Di antara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.

C.    Pembagian Syar’u man Qablana
Sesuai dengan ayat dalam Al Qur’an Surah Asy Syura (42): 13 di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
1.    Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad . Untuk bentuk pertama ini, ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad .
2.    Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad . Para ulama tidak menjadikan bentuk kedua ini sebagai dasar hujjah
3.    Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita.
Para ulama berbeda pendapat tentang bentuk ketiga ini. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad . Berdasarkan inilah ulama-ulama Hanafiyyah menetapkan hukuman qishash kepada seorang muslim yang membunuh kafir dzimi. Mereka menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Sebagian ulama lain menetapkan bahwa dalam hal hokum semacam ini tidaklah menjadi hukum bagi kita, karena perincian syariat yang telah lalu tidaklah merupakan hukum yang bersifat umum yang mashlahah untuk setiap waktu dan tempat, hanya syariait islamiyyah yang berlaku bagi setiap waktu dan tempat dibawa oleh Nabi Muhammad , hal ini dikuatkan oleh firman Allah (Al-Ma’idah (5): 143)
”Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu umat yang pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) mu. Dan kami tidak menjadikan kiblat yang engkau menghadap kepadanya (Baitil Maqdis), melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik atas kedua tumitnya (membelot). Dan sungguh (perpindahan kiblat) itu terasa berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia”.
Pembagian Syar’u Man Qablana dan contohnya :
1.    Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh). Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2.    Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa.
3.    Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita.
a.    Yang diberitakan kepada kita baik melalui al-Qur'an atau as-Sunnah, tetapi tidak tegas diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kita.
b.    Yang tidak disebut-sebut (diceritakan) oleh syari'at kita
4.    Nasikh Mansukh dan pendapat para ulama dalam Syar’un Man Qablana
Persoalan yang dibahas para ulama ushul fiqh dalarn masalah syar'u man qablana adalah mengenai status hukum syari'at sebelurn Islam dalam kaitannya dengan sebelum dan sesudah Rasulullah diutus menjadi Rasul.
Apakah Rasulullah sebelum diutus menjadi Rasul terikat dengan hukum hukum syari'at sebelum Islam?
Dalam menanggapi masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Jumhur Mutakallimin (ahli kalarn) dan sebagian ulama Malikiyyah mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebelum diutus menjadi Rasulullah, tidak terikat dengan syariat sebelum Islam. Alasan mereka adalah apabila Rasulullah . sebelurn menjadil Rasul terikat dengan syari'at syariat sebelum Islam, maka akan ada dalil yang menunjukkan hal itu. Dari penelusuran terhadap kehidupan Nabi Muhammad , menurut mereka, tidak ditemukan dalil yang menegaskan bahwa beliau terikat dengan syari'at sebelum Islam.
Ulama Hanafiyyah, Hanabilah, ibn al Hajib (570 646 H/1 174 1248 M ahli ushul fiqh Maliki) dan al Baidhawi (w. 685 H/1286 M./ahli ushul fiqh Syafi’i), mengatakan bahwa Rasulullah sebelum menjadi Rasul terikat dengan syariat sebelurn Islam. Alasan mereka adalah:
a.    Setiap Rasul Allah diseru untuk mengikuti syari'at rasul rasul sebelumnya. Nabi Muhammad juga termasuk ke dalam seruan ini.
b.  Banyak sekali riwayat yang menunjukkan bahwa Muhammad sebelum menjadi rasul telah melakukan perbuatan/amalan tertentu yang sumbernya bukan akal semata, seperti ia melaksanakan shalat, haji,.umrah, mengagungkan Ka'bah dan thawaf di sekelilingnya dan menvembelih binatang.
Imam al Ghazali, al Amidi,' dan 'Abdul Jabbar (ulama Mu'tazilah), bersikap tawaqquf (tidak berkornentar) terhadap permasalahan ini, karena tidak adanya dalil yang pasti dalam. masalah ini. Menurut mereka, apabila ada alasan dari nash (ayat atau hadits) yang menunjukkan bahwa Muhammad saw. terikat dengan hukum tertentu, maka mereka terima. Apabila tidak ada dalil yang menerangkannya, maka mereka tidak mengambil sikap.
Apakah syari'at sebelum Islam mengikat bagi Rasulullah setelah menjadi Rasul dan mengikat juga bagi umat Islam?
Dalam masalah ini para ulama sepakat mengatakan bahwa untuk masalah aqidah, syari'at Islam tidak membatalkannya. Kepercayaan dan keyakinan kepada Allah sejak zaman Nabi Adam berlaku sampai sekarang. Demikian juga dalam masalah hukuman pencurian, perzinaan, pembunuhan, dan kekafiran. Hukum hukurn. syari'at sebelurn Islam yang tidak terdapat dalam Qur'an dan sunnah tidak menjadi syari'at bagi Rasulullah dan umatnya.
Adapun hukum hukum syari'at sebelum Islam yang ada ketegasan berlakunya bagi umat Islam dalarn Qur'an, para ulama fiqh sepakat mengata¬kan bahwa hukum hukum itu berlaku dan mengikat bagi umat Islam, seperti puasa dan penyembelihan binatang.
Selain itu, terdapat hukum hukum yang tercantum. dalam Qur'an, tetapi tidak ada ketegasan berlakunya bagi umat Muhammad, namun diketahui secara pasti bahwa hukum itu berlaku bagi umat sebelum Islam dan tidak ada pembatalan dari Qur'an atau Sunnah Rasul. Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat. MisaInya, persoalan qishash dalam syari'at Yahudi yang dipaparkan dalam al-Qur'an surat al-Maidah (5): 45:
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishashnya”.
Menurut jurnhur Ularna yang terdiri atas ularna Hanafiyyah, Malikiyah, sebagian ularna Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imarn Ahmad ibn Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum hukum syari'at sebelurn Islam itu disampaikan kepada Rasulullah melalui wahyu, yaitu Qur'an, bukan melalui kitab agarna mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum hukum itu, maka urnat Islam terikat dengan hukum hukum itu. Alasan yang mereka kemukakan adalah:
a.    Syari’at sebelurn syari’at Islam itu juga syari'at yang diturunkan Allah dan tidak ada indikasi yang menunjukkan pembatalan syari'at tersebut, karenanya Umat Islam terikat dengan syari'at itu. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-An’aam (6): 90:
“Mereka itulah orang orang yang telah diberi petunjuk oleb Allab, maka ikutilah petunjuk mereka...
Dalam ayat lain Allah berfirman,
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad). Ikutilah Agama Ibrahim yang hanif.. (Q.S. al Nahl (16): 123)
Kedua ayat ini, menurut jurnhur ularna, merupakan alasan yang amat jelas menunjukkan bahwa urnat Islam terikat terhadap syari'at sebelum Islam yang disarnpaikan kepada Rasulullah melalui wahyu (al Qur'an). Dalarn ayat lain Allah berfirman untuk mengikuti syari'at Nabi Nuh , yaitu:
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang apa yang telah disyari'atkan-Nya kepada Nuh dan kepada yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrabim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecab belah karenanya.. (Q.S. As Syura (42): 13)
Ayat lain yang dikemukakan Jumhur sebagai alasan adalah surat Al-Maidah (5): 44-45.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat yang di dalamnya (berisi) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh Nabi-nabi yang menyerahkan diri (kepada Allah), dan (demikian juga) orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. (Sebab itu) maka janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku, dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit. Dan barang siapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir. Dan kami telah menetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qisas) nya, maka itu menjadi tebusan dosa baginya. Dan barangsiapa yang tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang yang zalim”.
b.    Mereka juga beralasan kepada sabda Rasulullah berikut:
Siapa yang tertidur dan 1upa untuk salat, maka kerjakanlah shalat itu ketika ia ingat/bangun, kemudian Rasulullab membacakan ayat: “Kerjakanlah shalat itu untuk mengingat-Ku (HR, al Bukhari, Muslim, al Tirmidzi, al Nasa'i dan Abu Daud)
Menurut jurnhur ularna, ayat yang dibacakan Rasulullah dalam sabda beliau itu merupakan ayat yang ditujukan kepada Nabi Musa. Ularna Asy'ariyyah, Mu'tazilah, Syi'ah, sebagian ularna Syafi’iyyah dan salah satu pendapat Imarn Ahmad ibn Hanbal (164 241 H/780 855M) mengatakan bahwa syari'at sebelurn Islam tidak menjadi syari'at bagi Rasu¬lullah dan umatnya. Pendapat ini juga dikemukakan Imam al Ghazali, al Amidi, Ibn Hazm al Zahiri (384 456 M/994 1064 M) dan Fakhruddin al-Razi (544 606 H/1150 1210 M). Alasan mereka adalah:
1)    Ketika Rasulullah mengutus Mu'az ibn Jabal untuk menjadi qadi ke Yaman, Rasulullah bertanya kepadanya:
 “Bagaimana engkau menetapkan hukum? Muaz menjawab: “Dengan Kitabullah, jika tidak ada dalam Kitabullah, dengan sunnah Rasulullah, dan apabila dalam sunnah Rasuludah juga tidak ada, maka saya akan ber-ijtibad. "Rasulullah memuji sikap Muaz ini. (HR al Bukhari dan Muslim)
Dalam kisah ini Rasulullah tidak menganjurkan kepada Mu'az untuk merujuk syari'at sebelum Islam. Apabila syari'at sebelurn Islam menjadi syari'at bagi umat Islam, paling tidak Rasulullah akan menganjurkan Mu'az untuk merujuknya apabila hukum yang ia cari tidak terdapat dalarn al Qur'an atau Sunnah Rasulullah .
2)    Firman Allah dalam surat Al-Maidah (5): 48:
“Dan Kami telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepadamu dengan (membawa) kebenaran, yang membenarkan terhadap apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan yang menjaga atasnya (batu ujian terhadap Kitab-kitab yang lain), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu. Bagi tiap-tiap umat diantara kamu, Kami telah menjadikan peraturan dan jalan yang terang, dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia menjadikan kamu satu umat saja, akan tetapi Dia hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, (karena itu) maka berlomba-lombalah kamu berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu semua, lalu Dia memberitahukan kepadamu tentang apa yang kamu perselisihkan dalam urusan itu”.
Maksudnya setiap urnat mempunyai syari'at sendiri dan suatu umat tidak dituntut untuk mengambil syari'at umat lain.
3)    Syari'at Islam merupakan syari' at yang berlaku untuk seluruh umat rnanusia, sedangkan syari'at umat sebelum Islam hanya berlaku bagi kaum tertentu. Dalarn sabda Rasulullah . dikatakan: “Para Nabi diutus khusus untuk kaumnya dan saya diutus untuk seluruh ummat manusia.” (HR. al Bukhari, Muslim dan al Nasa'i)
Mushthafa al-Bugha (guru besar ushul fiqh Universitas Damaskus, Syria), mengemukakan bahwa apabila diperhatikan ketiga pendapat di atas maka secara prinsip, hukum hukum syarl'at sebelurn Islam tidak dapat dijadikan sebagai daill dalarn menetapkan hukum Islam, karena sekalipun ulama yang menerimanya menetapkan syarl'at sebelum Islam bisa dijadikan alasan untuk menetapkan hukum syara', namun mereka tetap mengatakan hukum hukum itu harus terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah, sebagai sumber utama hukum Islam. Sumber lainnya pun harus mcrujuk kepada al Qur'an dan Sunnah. Oleh sebab itu, menurut al Bugha, pendirian Jumhur Ulama ini bukanlah suatu yang harus dipersoalkan, karena apabila ada nash nya dalam al Qur'an atau dalam Sunnah, maka secara otomatis hukum hukum itu wajib dilaksanakan umat Islam. Perbedaan pendapat ini hanyalah perbedaan dalam ungkapan saja, karena hukum hukum yang dise-butkan seperti hukuman pembunuhan, pencurian, perzinaan dan hukum puasa merupakan hukum yang berlaku dalam Islam dan wajib dilaksanakan umat Islam.
Muhammad Abu Zahrah, menyatakan apabila syari'at sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum hukum itu khusus bagi mere¬ka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Tetapi, apabila hukum hukum itu bersifat umum maka hukumnya juga berlaku umurn bagi seluruh umat, seperti hukuman qishash dan puasa yang ada dalam al Qur'an.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Adanya perbedaan pendapat mengenai legalitas syar’u man qoblana untuk dijadikan dalil dan sumber hukum Islam tidaklah membuat para ulama saling merasa diri mereka benar dan melecehkan argumen ulama lainnya yang tidak sependapat, semakin banyak perbedaan menunjukkan bahwa manusia benar-benar dikaruniai akal yang luar biasa. Tiap ulama memiliki hujahnya masing-masing yang sama-sama kuat. Semoga kita dalam menyoroti dalil yang masih diperselisihkan ini juga berpandangan secara objektif tidak subjektif, segala ilmu berumber dari Allah, dan yang paling mengetahui akan kebenarannyapun hanya Allah. Bila dalil Syar’u man Qoblana mendatangkan manfaat dan kebaikan niscaya tidak ada salahnya kita mempergunakannya dan mengamalknannya. Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, penerbit dunia aksara, Jakarta, 2009.
Nasrun Harun, Sumber dan Dalil Hukum Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Cet. II Rabi’ul Awal 1418 H/Agustus 1997 M.
A Dzazuli dan I.Nurol Aen, Ushul Fiqh (metodologi hukum islam), Grafindo Persada, Jakarta, Cet Pertama, 2000
http://syariah-muher.blogspot.com/2010/05/syaru-man-qablana-dosen-pengampu-prof.html

 
Design by http://abasawatawalla01.blogspot.com/ | Bloggerized by Abasawatawalla