Indonesia, Aku Masih Tetap Mencintaimu

Indonesia, aku masih tetap mencintaimu
Sungguh, cintaku suci dan murni padamu
Ingin selalu kukecup keningmu
Seperti kukecup kening istriku
Tapi mengapa air matamu
Masih menetes-netes juga
Dan rintihmu pilu kurasa?

Burung-burung bernyanyi menghiburmu
Pesawat-pesawat menderu membangkitkanmu
Tapi mengapa masih juga terdengar tangismu?
Apakah kau tangisi hutan-hutan
Yang tiap hari digunduli pemegang hapeha?
Apakah kau tangisi hutang-hutang negara
Yang terus menumpuk jadi beban bangsa?
Apakah kau tangisi nasib rakyatmu
Yang makin tergencet kenaikan harga?
Atau kau sekadar merasa kecewa
Karena rupiahmu terus dilindas dolar amerika
Dan IMF, rentenir kelas dunia itu,
Terus menjerat dan mengendalikan langkahmu?

Ah, apapun yang terjadi padamu
Indonesia, aku tetap mencintaimu
Ingin selalu kucium jemari tanganmu
Seperti kucium jemari tangan ibuku
Sungguh, aku tetap mencintaimu
Karena itulah, ketika orang-orang
Ramai-ramai membeli dolar amerika
Tetap kubiarkan tabunganku dalam rupiah
Sebab sudah tak tersisa lagi saldonya!

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda

Pahlawan Ku

Ohh........ Pahlawan ku
Bagaimana ku bisa
Membalas jasa-jasa mu
Yang telah kau berikan untuk bumi pertiwi


Haruskah aku turun ke medan perang
Haruskah aku mandi berlumurkan darah
Haruskah aku tertusuk pisau belati penjajah
Aku tak tahu cara untuk membalas jasa mu


Engkau rela mengorbankan nyawa mu
Demi suatu kemerdekaan yang mungkin
Tak bisa kau raih dengan tangan mu sendiri
Ohh......... pahlawan ku Engkau lah Bunga Bangsa
 

Oleh Rezha Hidayat

Pengorbanan

Mengucur deras keringat
Membasahi tubuh yang terikat
Membawa angan, jauh ntah kemana ?


Bagaikan pungguk merindukan rembulan,
Jiwa ini terpuruk dalam kesedihan


Pagi yang menjadi malam,
dan Bulan yang menjadi Tahun.


Sekian lama telah menanti,
Dirinya tak jua terlepas.


Andai diriku sang Ksatria,
Aku sudah pasti menyelamatkannya.


Namun semua itu hanya mimpi.
Dirinyalah yang harus berusaha
untuk membawa dirinya pergi dari kegelapan abadi.

Oleh Puisi Siti Halimah

Perjuangan Tak Pasti

Teriknya mentari menyentuh kalbu
Tak terasa angin merambah rasa
Hanya terasa peluh merambah jiwa

Ku coba melangkah ke sana
Tak jua ku temukan suatu hal
Ku langkahkan kembali kakiku
Tapi ku masih tak temukan sesuatu itu

Saat ku berhenti tuk bersandar
Ku memohon dan berserah
Apa aku di beri sebuah peluang
Tuk bisa hidup nyaman

Oh tuhan…….
Perjuangan ini sungguh meresahkan
Perjuangan ini sungguh membingungkan
Perjuangan ini tak menemukan jalan

Kaki tak kuat untuk melangkah
Jiwa tak kuat untuk bangun
Hati tak sanggup untuk merasa
Otak tak bisa untuk berfikir

Hidupku……….
Kenapa kau ditakdirkan seperti ini
Hanya berharap dari perjuangan yang tak pasti
Hidup ini terasa sangat membingungkan

Oleh Rhindy Marfiyanti

Pemuda Untuk Perubahan

Indonesia Menangis
bahkan tercabik
dengan hebatnya penguasanya korupsi
tak peduli rakyatnya mengemis

Kesejahteraan tinggallah angan
keadilan hanyalah khayal
kemerdekaan telah terjajah
yang tersisah hanya kebodohan

Indonesiaku, Indonesia kalian
jangan hanya tinggal diam kawan
mari bersatu ambil peranan
sebagai pemuda untuk perubahan...

Oleh Ananda Rezky Wibowo

Dibalik Seruan Pahlawan

Kabut,
Dalam kenangan pergolakan bumi pertiwi
Mendung,
Pertandakah hujan deras
Membanjiri asa yang haus kemerdekaan
Dia dan semua yang ada menunggu keputusan sakral

Serbu.... Merdeka atau mati.. Allahu Akbar
Titahmu terdengar kian merasuk dalam jiwa
Dalam serbuan bambu runcing menyatu
Kau teruskan bunyi-bunyi ayat suci
Kau teriakan semangat juang demi negeri
Kau relakan terkasih menahan terpaan belati
Untuk ibu pertiwi..

Kini kau lihat,
Merah hitam tanah kelahiranmu
Pertumpahan darah para penjajah keji
Gemelutmu tak kunjung sia
Lindungan-Nya selalu dihatimu
Untuk kemerdekaan Indonesia abadi..

 Oleh Zshara Aurora

Pemikiran Teologi Mu’tazilah dan Syi’ah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mu’tazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil 'aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Mu’tazilah didirikan oleh Wasil bin Atha' pada tahun 100 H/718 M.

Mu’tazilah merupakan aliran rasional yang membahas secara filosofis problem-problem teologis yang tadinya belum ada pemecahan. Dengan nama studi tentang akidah, Mu’tazilah sebenarnya juga membahas masalah moral, politik, fisika dan metafisika. Mereka membentuk suatu pemikiran yang berkonsentrasi membahas masalah Tuhan, alam dan manusia.

Syi’ah dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul dikarenakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam. Sebagai salah satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak timbulnya persoalan siapa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah. Dalam persoalan ini Syi’ah berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib dan harus dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta keturunan-keturunannya.

Syi’ah muncul sebagai salah satu aliran politik dalam Islam baru dikenal sejak timbulnya peristiwa tahkim (arbitrase). Sementara Syi’ah dikenal sebagai sebuah aliran teologi dalam Islam, yaitu ketika mereka mencoba mengkaitkan iman dan kafir dengan Imam, atau dengan kata lain ketaatan pada seorang Imam merupakan tolok ukur beriman tidaknya seseorang, di samping paham mereka bahwa Imam merupakan wakil Tuhan serta mempunyai sifat ketuhanan.

B.    Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian dan latar belakang kemunculan Mu’tazilah dan Syi’ah?
2.    Apa pokok-pokok dasar Pemikiran Mu’tazilah dan Syi’ah?

C.    Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui pengertian dan sejarah perkembangan aliran Mu’tazilah dan Syi’ah
2.    Untuk mengetahui pokok-pokok dasar Pemikiran Mu’tazilah dan Syi’ah

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mu’tazilah
1.     Pengertian dan Sejarah Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Perkataan Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I'tazala) yang bermaksud "meninggalkan", "menjauhkan diri". Kelahiran Mu’tazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar. Menurut sang guru, orang tersebut dianggap munafiq sekaligus fasiq, sehingga ia harus dikeluarkan dari kemunitas masyarakat muslim. Sementara itu, menurut sang murid, orang tersebut dihukumi fasiq. Ia berada di antara “manzil baina manzilatain” (tempat di antara dua tempat, yaitu mukmin dan kafir). Karena perbedaan tersebut, sang murid lantas memisahkan diri dan membentuk halaqah sendiri bersama Amr Ibn Umaid. Sang guru mengatakan, “Intazala anna Washil” (Washil telah memisahkan diri dari kita). Dari situlah kemudian muncul istilah Mu’tazilah, orang-orang yang memisahkan diri .

Akan tetapi, dalam tradisi Mu’tazilah sendiri, Hasan Basri dianggap sebagai salah satu tokoh mereka. Bahkan, bebarapa orang shahabat besar seperti Abu Bakar, Umar dan Ali dimasukkan dalam tokoh mereka juga . Selain itu, hubungan Hasan Basri dan Washil ibn Atha tidak terputus, sampai kematian memisahkan mereka. Bahkan, Washil masih sering terlihat bepergian bersama gurunya dalam berbagai perjalanan . Ini membuat orang bertanya mengenai kebenaran cerita di atas.

Sementara itu, menurut Montgomery Watt, pemikiran utama Mu’tazilah sesungguhnya diberikan oleh Mu’ammar (Makmar). Nama Washil ibn Atha, Amr ibn Ubaid, Abu Hudzail dan lainnya, hanyalah orang-orang yang ditokohkan oleh Mu’tazilah ketika mereka memerlukan figur panutan. Selanjutnya, ketika figur Washil dianggap lebih baik dan disukai, maka ia kemudian dianggap sebagai pendirinya.

Meski demikian, tidak jelas juga siapa yang dimaksud dengan Muammar atau Makmar oleh Watt. Hanya saja, menurutnya, Mu’tazilah lahir karena pengaruh pemikiran Yunani. Ia berusaha menggabungkan dogma-dogma Islam dengan filsafat pemikiran Yunani kuno. Akan tetapi, pernyataan Watt ini juga rancu dan sulit dibuktikan. Sebab, kenyataannya, Mu’tazilah telah lebih dahulu mapan sebelum filsafat Yunani masuk ke dalam Islam lewat terjemahan. 

Perhatian pada pemikiran dan pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Sementara itu, cabang Baghdad dengan tokoh utama Bisyir ibn Al-Muktamar lebih memperhatikan penyebaran dan penerapan prinsip-prinsip itu dengan memanfaatkan hubungan dekatnya dengan kekuasaan khilafah Abbasyiyah. Cabang ini dibanding dengan cabang Basrah lebih banyak terpengaruh filsafat Yunani. Para pendukungnya banyak memperluas persoalan yang sudah dibahas secara sederhana oleh para pendukung Basrah dengan memanfaatkan pendapat para filosof.

Di antara para khalifah Abasyiyah, al-Makmun mempunyai jasa dalam upaya mendorong perkembangan Mu’tazilah. Bait Al-Hikmah yang didirikannya, terutama untuk penterjemahan karya-karya filsafat Yunani kuno sangat besar artinya bagi perkembangan aliran ini dalam bidang teori, walau perkembangan Mu’tazilah sendiri tidak semata-mata hasil dorongan khalifah Makmun. Di sisi lain, secara politis, al-Makmun menggunakan paham Mu’tazilah sebagai alat untuk menguji loyalitas para bawahannya yang dikenal dengan istilah “mihnah”. Yaitu, pengujian atas para hakim, apakah mereka percaya bahwa al-Qur’an diciptakan, sebagaimana ajaran Mu’tazilah. Yang tidak percaya dipecat.

Kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa tidak ada yang qadim selain Allah. Kepercayaan akan adanya dzat yang qadim selain Allah adalah syirik. Orang yang menduduki jabatan hakim harus bebas dari syirik. Bila sudah terlanjur, mereka harus diturunkan. Mihnah ini dalam perkembangan tidak hanya diterapkan pada para hakim, tetapi juga para saksi di pengadilan, dan kemudian para pemimpin masyarakat.

Kebijaksanaan al-Makmun ini dilanjutkan oleh al-Muktasim (833-842) dan bahkan lebih keras oleh al-Wasiq (842-847). Peran Ahmad ibn Abi Daud, salah seorang tokoh besar Mu’tazilah aliran Baghdad sangat besar dalam pelaksanaan mihnah ini . Ia adalah kawan dekat al-Makmun, yang kemudian memegang jabatan Hakim Agung menggantikan Yahya ibn Aksam pada tahun 832.  Jabatan tersebut tetap dipegangnya sampai pada masa al-Muktasim dan al- Wasiq.

Meninggalnya al-Wasiq menandai kejatuhan Mu’tazilah. Penggantinya, al-Mutawakkil (847-861), lebih cenderung kepada para ahli al-hadits yang lebih banyak menderita pada masa khalifah sebelumnya. Ia menghentikan mihnah dan prinsip-prinsip Mu’tazilah tidak lagi dipakai sebagai prinsip negara. Ini berarti memberikan angin segar kepada lawan-lawan Mu’tazilah, terutama ahli Al-hadits, ahli fiqh dan Syiah, untuk balik menjatuhkannya.

Namun, dalam tubuh Mu’tazilah sendiri masih ada tokoh Abu Ali Al- Jubai dan anaknya, Abu Hasyim. Keduanya berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatan Mu’tazilah. Sudah tentu, ini sesuatu yang sangat sulit. Kenyataanya, hanya aliran Basrah yang dapat bertahan. Aliran Baghdad, yang dahulu dekat dengan kekuasaan, harus turun dari panggung sejarah. Dalam banyak hal, usaha kedua tokoh tersebut bisa dikatakan berhasil. Namun, dalam tubuh mereka sendiri justru tampil seorang lawan baru; Abu al-Hasan al-Asya’ari (873-935), pendiri aliran Asy’ariyah, sehingga beberapa saat lamanya, Mu’tazilah tidak muncul ke permukaan.

Pada masa-masa berikutnya, ketika Bani Buwaih berkuasa (abad keempat Hijriyah), Mu’tazilah bangkit kembali, terutama di wilayah Parsia. Ia bergandengan dengan Syiah. Saat itu, banyak muncul pemikiran Mu’tazilah dari aliran Basrah, walau diakui tidak sebesar para pendahulunya. Mereka meninggalkan banyak karya yang masih bisa kita lihat sampai sekarang.

2.    Pola Pemikiran dan Doktrin Mu’tazilah
Aliran mu’tazilah pada dasarnya memiliki pola pemikiran yang cenderung rasionalis. Hal ini di antaranya disebabkan banyak dipengaruhi oleh filsafat yunani yang membawa pemujaan akal ke dalam pemikiran islam. kaum mu’tazilah banyak dipengaruhi hal ini dan tidak mengherankan kalau dalam pemikiran teoplogi mereka banyak dipengaruhi oleh daya akal dan teologi mereka memiliki cortak liberal.

Diatara doktrin mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka yaitu mengenai Kalam Mu’tazilah, yang dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al-Ushul al-Khamsah”. (1) Keesaan Tuhan, (2) Keadilan-Nya, (3) Janji dan ancaman-Nya, (4) Posisi di antara dua posisi, (5) Perintah untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan jahat.

a.    Keesaan Tuhan.
Prinsip ini didefinisikan sebagai Allah Maha Esa. Tidak ada satupun yang menyekutui-Nya dalam sifat-sifat yang menjadi haknya; baik dalam penegasian maupun penetapan.  Penetapan ini terkait dengan pemahaman Mu’tazilah mengenai sifat-sifat Tuhan dan bagaimana sifat-sifat itu dinisbatkan kepada Tuhan, sehingga tidak memberikan pengertian adanya hal-hal yang bisa menodai keesaan-Nya, semisal adanya hal-hal yang qadim selain dzat Allah.

b.    Keadilan Tuhan.
Prinsip ini didefinisikan bahwa semua perbuatan- Nya adalah baik. Dia tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak baik. Dia juga tidak mungkin meninggalkan apapun yang merupakan kewajiban bagi-Nya. Dikatakan oleh al-Khayyat, salah satu tokoh Mu’tazilah, “Seseorang tidak berhak atas nama ‘I’tizal’ kecuali ia berpegang pada keseluruhan dari lima prinsip Mu’tazilah, yaitu tauhid, keadilan, janji dan ancaman, posisi diantara dua posisi, dan amar makruf nahi munkar. Jika kelima hal ini ada pada diri seseorang, maka ia adalah seorang Mu’tazilah”.
1)    Allah tidak berdusta dalam firman-Nya, dan kedustaan tidak boleh menjadi hukum-Nya.
2)    Allah tidak menyiksa anak-anak orang musyrik, karena dosa orang tuanya.
3)    Allah tidak memberikan mukjizat kepada orang-orang yang banyak berdusta.
4)    Allah tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat dilakukan dan tidak dapat diketahui (dipahami). Sebaliknya. Dia membuat hamba-Nya mampu melakukan beban yang diberikan, membuat mereka mengetahui sifat beban itu, dan menunjukkan serta menjelaskannya kepada mereka. Sedemikian, sehingga orang yang dibinasakan maupun yang dihidupkan, adalah berdasarkan atas keterangan yang telah diberikan. Yaitu, karena ketaatan dan kelalaian mereka sendiri.
5)    Allah pasti memberikan balasan yang baik kepada manusia yang menjalankan kewajibannya secara baik dan benar.
6)    Rasa sakit dan sakit yang ditimpakan Allah atas orang mukalaf, adalah untuk kepentingan mukalaf itu sendiri. Kalau tidak, maka Dia berarti telah meninggalkan kewajiban-Nya.
7)    Pandangan Allah tentang hamba-Nya, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan agama, tugas serta kewajiban adalah lebih baik daripada pandangan mereka sendiri mengenai hal itu .

c.    Janji dan ancaman.
Didefinisikan bahwa Allah berjanji untuk memberikan ganjaran kepada orang yang taat dan mengancam untuk menyiksa orang-orang yang durhaka. Dia pasti melaksanakan janji dan ancaman-Nya itu; tidak mungkin terjadi kedustaan dalam janji-Nya. Bila Dia berdusta akan janji- Nya sendiri, berarti firman-Nya tidak dapat dipegangi (tidak dapat dipercaya).

d.    Posisi di antara dua posisi.
Didefisinikan, bahwa pelaku dosa besar (dikalangan orang muslim) menduduki posisi di antara dua nama dan menduduki hukum di antara dua hukum, yaitu fasiq.  Ia tidak dihukumi kafir, karena kenyataanya ia masih beriman dan muslim. Ia tidak dikenakan larangan melakukan perkawinan, pewarisan dan dikubur di pemakaman muslim. Namun, tidak bisa pula dihukumi sebagai muslim dan mukmin yang “baik”, karena telah melakukan dosa besar. Karena perbuatannya, sebagaimana dinyatakan dalam Ijma, ia tidak pantas dihormati, dipuji dan ditolong demi Allah, sebagaimana yang mesti dilakukan terhadap seorang mukmin.

e.    Amar makruf nahi munkar.
Dalam hal ini diperlukan syarat-syarat, antara lain;
1)    Pengetahuan yang pasti bahwa yang diperintahkan adalah sesuatu yang baik dan yang dicegah adalah sesuatu yang jelek.
2)    Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa perbuatan yang tidak baik tersebut telah benar-benar ada atau telah terjadi. Misalnya, telah tersedia alat-alat minum (minuman keras), alat-alat judi dan lainnya.
3)    Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa pencegahan tersebut tidak --bakal menimbulkan kerugian yang lebih besar. Misalnya, kalau dilakukan pencegahan minuman keras bakal menimbulkan huru-hara atau pembunuhan dikalangan kaum muslimin, maka pencegahan tersebut tidak wajib dilakukan.
4)    Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa tindakannya itu akan menimbulkan pengaruh. Kalau sadar bahwa kata-katanya tidak bakal menimbulkan pengaruh, maka tidak wajib.
5)    Pengetahuan atau sangkaan yang kuat bahwa tindakannya tidak bakal menimbulkan kerugian pada harta atau dirinya. 

3.    Tentang Lutf
Apakah Tuhan berkewajiban untuk melakukan sesuatu? Pertanyaan ini telah melahirkan kontroversi dikalangan ahli kalam. Penyataan bahwa Tuhan harus melakukan sesuatu atas hamba-hamba-Nya merupakan sesuatu yang sangat absurd dikalangan muslim tradisional Sunni. Sebaliknya, bagi kaum Mu’tazilah, Tuhan memiliki kewajiban terhadap manusia. Di antara kewajiban tersebut, Tuhan wajib melakukan sesuatu yang baik, bahkan terbaik kepada manusia. Tuhan wajib menepati janji-janji-Nya, mengutus para Rasul, memberi rizki kepada mahluk- Nya dan lain-lain .

Konsep Lutf, Shalah wa al-Ashlah, keduanya adalah pelebaran paham Mu’tazilah tentang keadilan Tuhan. Di dalamnya terkandung persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pertanyaan di atas.
Lutf, bentuk masdar “la-tha-fa” berarti menolong, menyantuni, kehalusan, keramahan dan kelembutan. Allah disebut “latif”, karena Dia Maha Penolong, Maha Halus dan Penyantun para hamba-Nya.  Dalam istilah kalam Mu’tazilah, lutf adalah sesuatu yang membuat manusia mampu memilih untuk berperilaku mukmin, yang tanpanya manusia dapat terjerumus dalam tindakan sebaliknya .

Akan tetapi, konsep lutf ini bukan berarti menghilangkan makna kebebasan manusia, konsep utama dalam faham Mu’tazilah. Menurut Abd Jabbar, lutf yang diberikan Tuhan kepada mukallaf bukan sebagai balasan, melainkan sebagai konsekuansi-Nya atas adanya pembebanan pada manusia.  Dan lutf inipun hanya diberikan kepada orang-orang tertentu, yaitu orang yang dinilai punya potensi atau kecenderungan untuk beriman. Lutf tidak mungkin diberikan kepada orang-orang yang ingkar, sebagaimana yang dikatakan dalam al- Qur’an,
“Sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, maka Allah akan menjadikan mereka dapat mendengar....” (Al-Anfal, 23).
Abd Jabbar membagi lutf dalam tiga kategori;
1.    Lutf yang berhubungan dengan perbuatan Tuhan.
2.    Lutf yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
3.    Lutf yang berhubungan dengan selain perbuatan Tuhan dan manusia.

Lutf yang berhubungan dengan Allah, menurut Basyar ibn Muktamar, tidak merupakan kewajiban. Artinya, Tuhan tidak berkewajiban membuat atau memberikan lutf kepada semua manusia. Sebab, bila lutf tersebut merupakan kewajiban bagi Allah, maka di dunia ini tentu tidak ada kejahatan. Padahal, kenyataannya kejahatan masih banyak dan merajalela. Selain itu, kemungkinan manusia untuk berbuat; baik dan buruk, menjadi tidak mempunyai makna. Begitu pula tentang balasan surga dan neraka.

Lutf yang berhubungan dengan perbuatan manusia ada dua macam. Yang diaktifkan untuk menghilangkan kemudaratan, maka ini hukumnya wajib. Sedang lutf yang digunakan untuk aktifitas sunnah, maka tidak wajib.

Lutf yang tidak berkaitan dengan perbuatan Tuhan dan tidak berkaitan dengan perbuatan manusia mukallaf, juga ada dua. Yakni, lutf yang berhubungan dengan hukum kebiasaan, dan lutf yang berhubungan dengan perbuatan yang -- diketahui-- tidak biasa berlaku. Untuk kondisi pertama, adanya lutf dianggap baik, sedang pada kondisi kedua, tidak baik bahkan jelek.

4.    Tentang Shalah wa Al-Ashlah.
Kata “shalah”, masdar kata “sha-la-ha” berarti baik, lawan kata buruk. Sedang “aslah” adalah isim tafdhil, yang bermakna “terbaik”. Istilah “Shalah wa al-Aslah” sebagaimana yang digunakan kaum Mu’tazilah, adalah suatu kewajiban bagi Allah untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi para hamba-Nya.

Konsep ini didasarkan atas paham Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki kejahatan pada manusia. Sebaliknya, Tuhan menghendaki kebaikan-kebaikan. Menurut Mu’tazilah, jika Tuhan menghendaki kebaikan, maka Dia harus memberikan sarana-sarana kepada manusia, bagaimana harapan-Nya itu bisa direalisasikan. Artinya, Tuhan harus memberikan kebaikan, bahkan yang terbaik kepada manusia agar mereka dapat merealisasikan kebaikan sebagaimana yang diharapkan-Nya.

B.    Syi'ah
1.    Pengertian dan Sejarah Perkembangan Aliran Syi’ah
Syi’ah (Bahasa Arab: شيعة, Bahasa Persia: شیعه) ialah salah satu aliran atau mazhab dalam Islam. Syi'ah menolak kepemimpinan dari tiga Khalifah Sunni pertama seperti juga Sunni menolak Imam dari Imam Syi'ah. Bentuk tunggal dari Syi'ah adalah Syi'i (Bahasa Arab: شيعي.) menunjuk kepada pengikut dari Ahlul Bait dan Imam Ali. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah.
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab شيعة  Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī  شيعي.
"Syi'ah" adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali شيعة علي artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun).

Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucunya sepeninggal beliau. Syi'ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, Syi'ah mengalami perpecahan sebagaimana Sunni juga mengalami perpecahan mazhab.

Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad SAW, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.

Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad SAW, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad SAW, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.

Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al-Qur'an, Hadits, mengenai     Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.

Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.

2.    Sejarah munculnya Syi'ah
Para penulis sejarah Islam berpendapat bahwa Syi'ah lahir langsung setelah wafatnya Rosulullah SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan kaum Anshor di balai pertemuan Saqifah bani Sa'idah. Pada saat itu bani Hasyim menuntut kekhalifahan bagi Ali bin Abi Thalib. Sedangkan sebagian lainnya bependapat bahwa Syi'ah lahir setelah wafatnya Utsman bin Affan (tahun 644-656 M).

Syi’ah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s (imam pertama kaum Syi’ah) diketahui sudah muncul sejak Rasulullah SAWW masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan realita-realita berikut ini:
Pertama, ketika Rasulullah SAW  mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Ali a.s. Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin  pergerakan di hari pertama ia memulai langkah-langkahnya memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang setia.     Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa aktifnya pergerakan tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit pun kepada penggantinya dan memperlakukannya sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali a.s. setelah diperkenalkan sebagai pengganti dan washi Rasulullah SAW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang tidak berbeda dengan missi Rasulullah SAW dan orang yang mengikutinya berarti ia juga mengikuti Rasulullah SAW.

Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah. Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.

Ketiga, Imam Ali a.s. adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah dilakukannya. Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.

Keempat, peristiwa Ghadir Khum yang merupakan puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s. Sebuah peristiwa yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan kehendak Rasulullah SAW akan memberikan warna lain terhadap Islam.

3.    Pola Pemikiran dan Doktrin Syi'ah
Syi’ah memiliki beberapa doktrin diantaranya:
a.    Ahlul Bait secara bahasa ahlul bait berarti keluarga, ada 3 bentuk pengertian ahlul bait yaitu:
1)    Mencangkup isteri-isteri Rosulullah SAW  dan seluruh Bani Hasyim.
2)    Hanya Bani Hasyim.
3)    Terbatas hanya Rosulullah SAW, Ali, Fatimah, Hasan, Husein dan imam-imam keterunan Ali.
b.    Al-Bada' , adalah keputusan Allah yang mampu mengubah suatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkanNya dengan keputusan baru.
c.    Asura, berasal dari kata asyara yang berarti sepuluh.Yang mempunya maksud yaitu hari peringatan wafatnya Husein bin Ali.
d.    Imamah (pemimpin).imamah meyakini bahwa harus ada pemimpin-pemimpin setelah Rosulullah.
e.    Ismah,berasal dari kata asama'  yang berarti terpelihara dan terpelihara. Doktrin ini meyakini bahwa imam-imam sepeti Rosulullah SAW  telah dijamin oleh Allah terhindar dari perbuatan salah dan lupa.
f.    Mahdawiyah, meyakini bahwa akan datangnya juru selamat pada hari akhir yang bernama Imam Mahdi.
g.    Marja'yiyah, dari kata  marja' yang artinya  tempat kembali.
h.    Raj'ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sebagian hamba Allah yang paling sholeh dan yang  paling durhaka untuk menunjukkan kebesaranNya.
i.    Taqiyah, yaitu sifat berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa.
j.    Tawasul,memohon kepda Allah dengan menyebutkan pribadi atau kedudukan seorang imam, nabi, atau bahkan para wali agar do'anya cepat terkabul.
k.    Tawalli dan Tabarri, yang aartinya mengangkat seorang sebagai pemimpinnya, tabarri yang berarti melepaskan diri atau menjauhkan diri dari seseorang.

4.    Sekte-sekte dalam Syi'ah
Semua sekte dalam Syi'ah sepakat bahwa imam yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan bin Ali, lalu Husein bin Ali. Namun setelah itu muncul perselisihan mengenai siapa pengganti imam Husein bin Ali. Dalam hal ini muncul dua pendapat. Pendapat kelompok  pertama yaitu imamah beralih kepada Ali bin Husein, putera Husein bin Ali, sedangkan kelompok lainnya meyakini bahwa imamah beralih kepada Muhammad bin Hanafiyah, putera Ali bin Abi Thalib dari isteri bukan Fatimah.

Akibat perbedaan antara dua kelompok ini maka muncul beberapa sekte dalam Syi'ah. Para penulis klasik berselisih tajam mengenai pembagian sekte dalam Syi'ah ini. Akan tetapi, para ahli umumnya membagi sekte Syi'ah dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah dan Kaum Gulat.

a.    Kaisaniyah
Adalah sekte Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Muhammad bin Hanafiyah setelah wafatnya Husein bin Ali. Nama Kaisaniyah diambil dari nama sorang bekas budak Ali bin Abi Thalib, Kaisan, atau dari nama Mukhtar bin Abi Ubaid yang juga dipanggil dengan nama Kaisan.

b.    Zaidiyah
Adalah sekte dalam Syi'ah yang mempercayai kepemimpinan Zaid bin Ali bin Husein Zainal Abidin setelah kepemimpinan Husein bin Ali. Mereka tidak mengakui kepemimpinan Ali bin Husein Zainal Abidin seperti yang diakui sekte imamiyah, karena menurut mereka Ali bin Husein Zainal Abidin dianggap tidak memenuhi syarat sebagai pemimpin. Dalam Zaidiyah, seseorang dianggap sebagai imam apabila memenuhi lima kriteria, yakni:  keturunan Fatimah binti Muhammad  SAW, berpengetahuan luas tentang agama, zahid (hidup hanya dengan beribadah), berjihad dihadapan Allah SWT dengan mengangkat senjata dan berani.

Sekte Zaidiyah mengakui keabsahan khalifah atau imamah Abu Bakar As-Sidiq dan Umar bin Khattab. Dalam hal ini, Ali bn Abi Thalib dinilai lebih tinggi dari pada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Oleh karena itu sekte Zaidiyah ini dianggap sekte Syi'ah yang paling dekat dengan sunnah.  Disebut juga Lima Imam dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
1)    Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2)    Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3)    Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4)    Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5)    Zaid bin Ali (658–740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baqir.

c.    Imamiyah
Adalah golongan yang meyakini bahwa nabi Muhammad SAW telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai imam pengganti dengan penunjukan yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar, maupun Utsman. Bagi mereka persoalan imamah adalah salah suatu persoalan pokok dalam agama atau ushuludin. Sekte imamah pecah menjadi beberapa golongan. Golongan yang besar adalah golongan Isna' Asyariyah atau Syi'ah dua belas. Golongan terbesar kedua adalah golongan Isma'iliyah. Golongan Isma'iliyah berkuasa di Mesir dan Baghadad.  Disebut juga Tujuh Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1)    Ali bin Abi Thalib (600–661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2)    Hasan bin Ali (625–669), juga dikenal dengan Hasan Al-Mujtaba
3)    Husain bin Ali (626–680), juga dikenal dengan Husain Asy-Syahid
4)    Ali bin Husain (658–713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5)    Muhammad bin Ali (676–743), juga dikenal dengan Muhammad Al-Baqir
6)    Ja'far bin Muhammad bin Ali (703–765), juga dikenal dengan Ja'far Ash-Shadiq
7)    Ismail bin Ja'far  (721 – 755), adalah anak  pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.

d.    Kaum Ghulat
Merupakan golongan yang berlebih-lebihan dalam memuja Ali bin Abi Thalib atau imam mereka yang lain dengan menganggap bahwa para imam terdebut bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.

Seorang ulama Ahlussunnah, Muhammad Abu Zahrah, mengatakan kelompok Syiah ektremis ini hampir dapat dikatakan telah punah.

Di dalam Syiah Ghulat terdapat beberapa golongan, yakni As-Sabaiyah, Al-Khaththabiyah, Al-Ghurabiyah, Al-Qaramithah, Al-Manshuriyah, An-Nushaiziyah, Al-Kayyaliyah, Al-Kaisaniyah, dan lainnya.

Menurut Asy-Syahrastany, As-Sabaiyah adalah pengikut Abdullah bin Saba' yang konon pernah berkata kepada Sayyidina Ali: “Anta Anta,” yang berarti "Engkau adalah Tuhan". Ia juga menyatakan sahabat Nabi ini memiliki tetesan ketuhanan.

Sementara Al-Khaththabiyah adalah penganut aliran Abu Al-Khaththab Al-Asady yang menyatakan Imam Ja'far Ash-Shadiq dan leluhurnya adalah Tuhan. Sementara Imam Ja'far mengingkari dan mengutuk kelompok ini. Lantaran sikap tersebut, pemimpin kelompok ini, Abu Al-Khaththab, mengangkat dirinya sebagai imam.

Golongan Al-Ghurabiyah percaya malaikat Jibril diutus Allah untuk Ali bin Ali Thalib ra. Namun, mereka menilai malaikat Jibril keliru dan berkhianat sehingga menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad.

Sementara Syiah Qaramithah dikenal sangat ekstrem karena menyatakan Syyidina Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Kelompok ini pernah berkuasa di Bahrain dan Yaman, serta menguasai Mekah pada 930 Masehi.
                               
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Perkataan Mu’tazilah berasal dari bahasa Arab (I'tazala) yang bermaksud "meninggalkan", "menjauhkan diri". Mu’tazilah adalah satu satu dari madzhab teologi dalam Islam. Kelahiran Mu’tazilah, oleh lawan-lawannya, biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar

Diatara doktrin mu’tazilah yang dimunculkan oleh mereka yaitu mengenai Kalam Mu’tazilah, yang dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “al- Ushul al-Khamsah”. (1) Keesaan Tuhan, (2) Keadilan-Nya, (3) Janji dan ancaman-Nya, (4) Posisi di antara dua posisi, (5) Perintah untuk melakukan perbuatan baik dan mencegah perbuatan jahat.

Implikasi dari bermunculannya aliran kalam yang berbeda-beda tersebut dalam bidang hukum khususnya hukum islam ialah adanya berbagai macam ikhtilaf  karena perbedaan sudut pandang dalam memahami hukum maupun metode yang di anut atau dilalui dari masing-masing aliran kalam tersebut.

Ajaran dalam Syi'ah amatlah banyak dan berbeda-beda, sehingga kita harus mencari dan mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin, dan tokoh-tokoh yang berdampak besar dalam golongan ini. Selain itu, di dalam aliran Syi’ah ini terdapat banyak  bagian-bagian dan perbedaan pendapat dalam bertahuid. Yang ditandai dengan munculnya beberapa sekte seperti Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat.

Hal ini menuntut kita untuk selalu berhati-hati serta mengantisipasi atas adanya doktrin keras yang mungkin berkembang, atau bahkan telah begitu pesat dalam penyebarluasan ajarannya ke negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di Indonesia. Salah satunya adalah menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin. Bahkan yang lebih parah adalah yang memuja dan menganggap bahwa Ali bin Abi Thalib bukan manusia biasa, melainkan jelmaan Tuhan atau bahkan Tuhan itu sendiri.

Oleh karena itu, sebagai umat Islam kita harus selalu cermat serta berhati-hati dalam meyakini dan mempelajari suatu aliran baik itu Syi’ah maupun aliran pemikiran yang lain. Selain itu, jangan sampai terlalu fanatik, karena fanatisme akan berdampak pada keburukan. Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan.

B.    Saran
Berdasarkan pembahasan di atas, hendaknya menyadarkan kita tentang keanekaragaman dalam Islam. Faham-faham yang ada dalam agama Islam hendaknya juga menjadi penambah khazanah pemikiran kita. Dalam pembahasan Ilmu Kalam ini, banyak faham-faham yang menyalahi, tapi kita juga jangan terlalu menyalahkan mereka karena setiap keyakinan yang mereka yakini mempunyai bukti atau argumentasi tersendiri, dan juga setiap keyakinan yang telah terlahir tidak mudah dirubah begitu saja disebabkan keyakinan adalah berasal dari sang pencipta.

DAFTAR PUSTAKA
Ali M. Al-Ghurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah wa Nasy’at Ilm al-  Kalam inda al-Muslimin
Ahmad ibn Yahya al-Murtadho, Kitab Tabaqat al-Mu’tazilah, ed. Susanna Diwald-Wiltzer, hal 9-24. Tentang Hasan Basri
Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2006
Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Pustaka Pelajar ,Yogyakarta, , 2004, hlm. xvii
Artikel D. Sourdel,“The Abbasid Caliphate” dalam ‘Cambridge History of Islam’, ed. PM. Holt, KS. Lambton dan Bernard Lewis " Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah, Analisa, Perbandingan"
Nasution, Harun, Teologi islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,      Jakarta: Universitas Indonesia, 1986.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Beberapa Aspek Jilid II, Universitas Indonesia press, Jakarta, 2008.
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/01/078426800/Mengenal-4-Kelompok-dalam-Syiah
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCwQFjAA&url=http%3A%2F%2Fmjays.weebly.com%2Fuploads%2F6%2F4%2F7%2F3%2F6473144%2Fagus_t_sphi_teologi_muktazilah.doc&ei=OTGUUeayA8KQrQeStoCIAw&usg=AFQjCNFlLSG7-OfCSmZpU_z2ynKzXrz3pg&bvm=bv.46471029,d.bmk

Mashlahah Al-Mursalah

Pengertian Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari’ah.

Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.

Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.

Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :
 



Artinya:
“Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta’ala berfirman: “…dan tunaikanlah zakat!.”

Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :

Artinya:
“Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta’ala berfirman : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai… “. 

Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.

Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :

Artinya:
“Ilmu tentang hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”

Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni:

Artinya:
“Kumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci”.

Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.

Artinya:
“…..dirikanlah shalat….”(An-Nisaa’: 77)

Atau seperti sabda Rasulullah SAW :

Artinya:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan).” (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).

Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.
Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara’ mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari’ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :

Artinya:
“Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-aturan/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”

Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara’; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :

Artinya :
“Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.”

Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara’ dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi ‘illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara’. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan :

Artinya:
“Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara amengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara’.”

Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh

Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata “Ushul Fiqh” adalah kata yang berasal dari bahasa Arab “Ushulul Fiqh” yang berarti asal-usul Fiqh. Maksudnya, pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh.

Pengetahuan Fiqh adalah formulasi dari nash syari’at yang berbentuk Al-Qur’an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Fiqh. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur’an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Fiqh.

Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Fiqh ini, Ushul Fiqh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari’at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our’an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk “hukum Fiqh” (ilmu Fiqh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil.

Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Fiqh ialah Adillah Syar’iyah (dalil-dalil syar’i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar’iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu.

Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
a.    Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl’i (sabab, syarat, mani’, ‘illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b.    Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c.    Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum ‘alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d.    Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e.    Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, ‘am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f.    Masalah ra’yu, ijtihad, ittiba’ dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
g.    Masalah adillah syar’iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-’urf, syar’u man qablana, bara’atul ashliyah, sadduz zari’ah, maqashidus syari’ah/ususus syari’ah.
h.    Masa’ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far’u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta’arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan.

Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa’idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri’il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya.

Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari’at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.

Dengan Usul Fiqh :
    Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.
    Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
    Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
    Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.

Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi’ yang baik, (Muttabi’ ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.

Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.

 
Design by http://abasawatawalla01.blogspot.com/ | Bloggerized by Abasawatawalla